Your Adsense Link 728 X 15

TINGKATAN DAN LAFADZ-LAFAZD JARH DAN TA’DIL

Posted by Anton Sanjaya Jumat, 06 Juli 2012 0 komentar

Para perawi yang disebutkan mempunyai sifat ‘adalah sekalipun, tidak berarti mereka pada tingkatan yang sama. Karena itulah terdapat istilah dan lafadz khusus dikalangan ulama hadits untuk membedakan tingkatan-tingkatan perawi, baik dari sisi ‘adl maupun jarah 


Marothibu At-Ta’diil ( Tingkatan Ta’diil)
Tingkatan-tingkatan lafadz al-ta’diil:
1) Tingkatan Pertama : Menunjukkan rekomendasi secara mubalaghoh (berlebihan), dan menggunakan isim tafdhiil untuk menunjukkan paling utama. Lafadz yang digunakan misalnya : atsbatun naas (orang yang paling kuat haditsnya), autsaqo naas ( paling terpercaya), adhbatu naas ( paling kuat hafalannya)
2) Tingkatan Kedua : Menggunakan lafadz yang menunjukkan penguatan sifatsifat adalah dan tautsiiq. Lafadz yang digunakan misalnya: tsiqoh tsiqoh ( benarbenar tsiqoh ), tsiqoh ma’muun (terpercaya dan terjamin).
3) Tingkatan Ketiga : Menggunakan lafadz yang menunjukan sifat tsiqoh tapi tanpa penguatan. Lafadz yang digunakan : tsiqoh , mutqin, hujjah .
4) Tingkatan Keempat : Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi memang adil dan tsiqoh tapi tanpa penekanan secara khusus.. Lafadz yang digunakan misalnya: la ba’sa biih (tidak ada masalah dengannya), atau shoduq, ma’muun.
5) Tingkatan Kelima : Menggunakan lafadz yang samar atau tidak menunjukan bahwa perawi cukup adil dan tsiqoh. Lafadz yang digunakan misalnya: fulaan syaikh (dia seorang syeikh), ruwiya anhu naas ( orang meriwayatkan darinya)
6) Tingkatan Keenam : Menggunakan lafadz yang mengarah atau mendekati pada tajriih. misalnya dengan kata-kata: sholih hadits , yuktabu haditsuhu ( tercatat haditsnya)


Hukum Tingkatan Ta’diil :
- Untuk tingkatan pertama hingga ketiga, maka haditsnya layak dijadikan hujjah meskipun dengan kekuatan yang berbeda-beda.
- Untuk tingkatan keempat dan kelima, haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah, tapi haditsnya bisa dituliskan, dan diuji kembali tingkat ketelitian mereka dengan
membandingkan pada riwayat lain yang tsiqoh.
- Untuk tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah, dan haditsnya bisa dituliskan untuk i’tibaar semata.


Marothibu Al-Jarh ( Tingkatan Jarh)
Tingkatan-tingkatan lafadz al-Jarh:
1) Tingkatan Pertama : Mengemukakan sifat perawi untuk menunjukkan kelemahan, namun dengan lafadz yang paling ringan. Lafadz yang digunakan misalnya : fiihi dhoiif (dia ada lemahnya), fiihi maqool ( dia banyak dibincangkan), layyinul hadits ( lemah haditsnya)
2) Tingkatan Kedua : Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi itu lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah. Lafadz yang digunakan misalnya: dhoiif ( dia lemah ), lahu manakiir (banyak yang mengingkarinya), majhuul ( dia tidak dikenal).
3) Tingkatan Ketiga : Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa hadits yang diriwayatkannya sangat lemah dan haditsnya tidak dituliskan. Lafadz yang digunakan : la yuktab haditsuhu (tidak dicatat hadits darinya), la tahillu riwayah ( tidak boleh meriwayatkan) ,
4) Tingkatan Keempat : Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa bahwa perawi dituduh berdusta. Lafadz yang digunakan misalnya: huwa muttaham bil kadzib, (dia tertuduh sbg pendusta)atau muttaham bil wad’iy ( dia dianggap pemalsu hadits), atau matruk (dia ditinggalkan), atau laisa bitsiqoh (tidak terpercaya)
5) Tingkatan Kelima : Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi memang pendusta dan pemalsu.. Lafadz yang digunakan misalnya: huwa kadzzab (dia pendusta), atau huwa waddhoo’ (dia pemalsu hadits), atau juga dajjal (dia seperti dajjal /pendusta)
6) Tingkatan Keenam : Menggunakan lafadz yang menunjukan kecacatan perawi yang sangat parah dan mubalaghoh (berlebihan). misalnya dengan kata-kata: akdzabu nnas ( paling pendusta) , ruknul kadzib (pilarnya pendusta), atau ilahi muntahal kadzib (dia puncaknya kedustaan).


Hukum Tingkatan Jarh :
- untuk hadits pada tingkatan jarh yang pertama dan kedua, tidak bisa dijadikan hujjah namun boleh dituliskan hadistnya, untuk pelengkap dan i’tibaar saja.
- Namun untuk hadits pada tingkatan jarh yang keempat sampai keenam, maka haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah, tidak perlu ditulis, dan tidak perlu dianggap ada.


0 komentar:

Posting Komentar

Materi Banyak Di Baca