Your Adsense Link 728 X 15

RAMBU-RAMBU MEMAHAMI SUNNAH

Posted by Anton Sanjaya Jumat, 06 Juli 2012 0 komentar

ETIKA SALAFUS SHALIH DALAM MENGKRITIK HADITS
Kisah Umar ra dan Abu Musa Al-Asyari Dalam riwayat Muslim dari Abu Said Al-Khudri ra, ia berkata: Aku sedang dudukduduk  alam majlis orang-orang Ansar di Madinah lalu tiba-tiba Abu Musa ra. datang dengan ketakutan. Kami bertanya: Kenapa engkau? Ia menjawab (menceritakan kejadian yang membuatnya takut) : Umar menyuruhku untuk datang kepadanya. Aku pun datang. Di depan pintunya, aku mengucap salam tiga kali tetapi tidak ada jawaban, maka aku kembali. Tetapi, ketika bertemu lagi, ia bertanya: Apa yang menghalangimu datang kepadaku? Aku menjawab: Aku telah datang kepadamu. Aku mengucap salam tiga kali di depan pintumu. Setelah tidak ada jawaban, aku kembali. Sebab, Rasulullah saw. telah bersabda: Apabila salah seorang di antara kalian minta izin tiga kali dan tidak mendapatkan jawaban, maka hendaklah ia kembali. Mendengar hal tersebut Umar bin Khottob mengatakan dengan tegas : “ Demi Allah, engkau harus mempunyai bukti bahwa ada saksi lain yang mendengar dari Rasulullah SAW “.
Ubay bin Ka’b yang memahami ketakutan Abu Musa Al-Asy’ari mengatakan : “Demi Allah, sungguh tidak perlu bersaksi untukmu dalam masalah ini, kecuali yang paling kecil di antara kami”. Karena pada waktu itu Abu Said Al Khudry adalah yang terkecil, maka ia pun memberikan kesaksian kepada Umar.
Dalam Muqaddimmah Ibnu Shalah disebutkan sikap sangat berhati-hatinya Umar
bin Khottob ra. dalam menerima hadits, tapi ia tdk meragukan sahabat yg
merawikannya melainkan berhati-hati terhadap hukum yang disampaikan oleh Nabi
SAW. Sebagai contoh ia mengatakan hal tersebut kepada sahabat Abu Musa Al
Asy’ari ra :

“ Saya tidak menuduh dan meragukanmu, tetapi aku khawatir orang-orang akan mengada-adakan perkataan atas nama rasulullah SAW”. 


Abu Musa dan Aisyah ra.
Contoh yang lain, Abu Hurairah ra pernah menyatakan sebuah hadits : “ Sesungguhnya mayyit itu diazab karena tangisan keluarganya atasnya”. maka Ummul Mu'minin Aisyah ra mengkritik hadits tersebut tidak pada sanadnya, melainkan pada redaksinya. Dimulai dengan mendoakan abu Hurairah ra, ia berkata : Semoga Allah SWT merahmati abu Hurairah, aku tidak pernah mendengarnya dari
Nabi SAW, tetapi aku mendengar Nabi SAW bersabda : “ Sesungguhnya Allah SWT akan menambah azab bagi orang-orang kafir”. Lalu Aisyah ra berdalih bahwa hadits abu Hurairah tersebut bertentangan dg ayat al-Qur'an :” Dan sesungguhnya seseorang itu tidak akan memikul dosa orang lain” (QS Al-An’am 164)
Ternyata hadits abu Hurairah tersebut diperkuat oleh riwayat yang lain dari Umar ra, Ibnu Abbas ra dan Ibnu Umar ra. Maka para muhaddits menyimpulkan bahwa dari segi sanad kedua hadits tersebut (hadits Aisyah maupun Abu Hurairah) shahih, maka ditafsirkan makna sebenarnya dari layu'adzdzabu artinya yata'allama (merasa sedih), artinya mayyit tersebut merasa sedih mengapa keluarganya tdk memahami hakikat kehidupan, sehingga mereka menangisinya.


KERANGKA DALAM MEMAHAMI HADITS
Pertama : Memahami as-Sunnah disesuaikan dengan al-Qur'an (Fahmu sunnah fi Dhau'il Qur'an ) Artinya memahami fungsi as-Sunnah yang merupakan penjelas (bayanu taudhih, tafsir) dan juga menambah apa yang tidak ada dalam al-Qur'an (bayanu tsabit), seperti al-Qur'an mengharamkan bangkai, tetapi hukum tersebut dihapuskan oleh as-Sunnah untuk bangkai ikan dalam hadits yang berbunyi : “ Laut itu suci airnya dan halal bangkainya/ikan”. (HR Daruqutni)
Kedua : Menggabungkan hadits-hadits dalam satu pengertian (Jam'ul ahadits fi maudhu'in wahid)
Jika melihat hadits bertentangan maka digabungkan sehingga didapat satu pengertian yg benar. Seperti hadits isbalul izar (Kain yg melewati kedua mata kaki di neraka) yang bertentangan dengan hadits Abubakar ra yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW membolehkan kain Abubakar melewati mata kakinya, karena ia tidak termasuk mereka yang sombong. Sehingga bisa didapatkan pengertian bahwa
ternyata yang diancam masuk neraka dengan isbalnya adalah jika dilakukan karena  kesombongan, setelah digabung dg hadits khuyala' (orang2 yg masuk neraka karena melabuhkan kain karena sombong).
Atau hadits lain yang menyatakan batalnya orang puasa yang berbekam, sementara hadits lainnya menyatakan tidak batal. Ternyata setelah digabungkan ditemukan bahwa dalam hadits pertama orang tersebut berbekam sambil mengghibbah dan berdusta sehingga batalnya karena hal tersebut dan bukan karena berbekamnya.
Ketiga : Melihat hadits berdasarkan sebabnya (Fahmul hadits fi dhau'i asbab wal mulabisat)
Seperti hadits Rasulullah SAW : “ kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian “ (HR Muslim). Hadits tersebut harus ditafsirkan berdasarkan sebabnya, yaitu Nabi SAW melewati sekelompok kaum di Madinah yang sedang mengawinkan pucuk kurma lalu Nabi SAW mengucapkan kata-kata yang ditafsirkan salah oleh orang-orang tersebut sehingga tahun berikutnya mereka tidak lagi mengawinkan pucuk kurma tersebut yang berakibat gagal panen. Sehingga keluarlah sabda Nabi SAW : Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian. Artinya dalam masalah sarana dan teknologi teknis bukan masalah-masalah atau dasar-dasar yang telah ada hukumnya dalam syariat Islam, seperti politik, ekonomi, dsb.
Keempat : Menghukumi hadits-hadits yang bertentangan (Fahmu at-Ta'arudh fil ahadits)
 Jika terdapat dua hadits yang seolah bertentangan secara makna, maka hendaknya dilakukan tiga upaya berikut :
1) Digabungkan (thariqatul jam'i) : Seperti dlm suatu hadits disebutkan Nabi SAW meminta dijadikan orang miskin, sementara banyak hadits-hadits lain Nabi SAW meminta kekayaan. Maka digabungkan bahwa yang dimaksud miskin dalam hadits pertama adalah sikap orang miskin yang tawadhu' (rendah hati dan tidak sombong).
2) Dilihat sejarahnya (ta'arikh), jika tidak bisa digabungkan pengertiannya (tetap bertentangan), maka dilihat mana yang lebih dulu dan mana yang belakangan, sehingga yang belakangan adalah menghapus hukum yang sebelumnya. Seperti hadits nikah Mut'ah (semacam kawin kontrak) yang banyak dipakai kaum Syi'ah, memang benar Nabi SAW pernah membolehkannya dalam sebuah peperangan tapi kemudian dihapus selama-lamanya oleh Nabi SAW setelah nampak bahaya dan dampaknya. Atau hadits yg melarang ziarah kubur, yang kemudian dihapus sendiri oleh Nabi SAW.
3) Dipilih mana yg lbh kuat (tarjih), jika kedua hal di atas tidak bisa juga, maka barulah dicari mana yang lebih shahih dan dibuang yang kurang shahih (artinya bisa juga keduanya shahih tapi yg satu lebih shahih dari yg lain, maka yg dipakai yg lebih shahih tersebut).
Kelima : Melihat pada isi hadits tersebut dan bukan pada sarananya (an Nazhru ilal ushul la lil wasa'il)
Contohnya adalah sebagai berikut :
1) Hadits bahwa Nabi SAW memakai gamis, ternyata banyak hadits yang menyebutkan bahwa Nabi SAW juga memakai kain Yamani, baju Kisrawaniyyah, dll. Ternyata ushul (konten asli) dari hadits tentang pakaian tersebut adalah menutup auratnya dan bukan pada jenis pakaiannya.
2) Hadits bahwa Nabi SAW memerintahkan belajar memanah, yang secara makna pokoknya adalah berlatih menggunakan senjata dan bukan pada panahnya. Demikian pula berkuda, yang pokok mengendarai kendaraannya dan bukan kudanya.
3) Hadits bahwa pengobatan terbaik adalah menggunakan kai (besi dipanaskan), ternyata yang pokok adalah metode shock terapy nya seperti dg akupunktur, refleksi, dsb.
Kelima : Menegaskan apa yg ditunjukkan oleh lafazh hadits (Ta'akkud dilalatu alfazh al hadits). Seperti hadits : La'anallahal mushawwirin (Allah melaknat para pelukis), yang dilalahnya atau makna yang ditunjukkan adalah jika untuk diagungkan, dipuja, atau berupa benar-benar lukisan tiga dimensi (patung), karena ternyata gambar yg telah dipotong dan dijadikan bantal oleh Aisyah ra tidak dilarang oleh Nabi SAW. (Dr.DaudRasyid – Materi Madah 1427 dengan beberapa perubahan)

0 komentar:

Posting Komentar

Materi Banyak Di Baca