Your Adsense Link 728 X 15

RAMBU-RAMBU MEMAHAMI SUNNAH

Posted by Anton Sanjaya Jumat, 06 Juli 2012 0 komentar

ETIKA SALAFUS SHALIH DALAM MENGKRITIK HADITS
Kisah Umar ra dan Abu Musa Al-Asyari Dalam riwayat Muslim dari Abu Said Al-Khudri ra, ia berkata: Aku sedang dudukduduk  alam majlis orang-orang Ansar di Madinah lalu tiba-tiba Abu Musa ra. datang dengan ketakutan. Kami bertanya: Kenapa engkau? Ia menjawab (menceritakan kejadian yang membuatnya takut) : Umar menyuruhku untuk datang kepadanya. Aku pun datang. Di depan pintunya, aku mengucap salam tiga kali tetapi tidak ada jawaban, maka aku kembali. Tetapi, ketika bertemu lagi, ia bertanya: Apa yang menghalangimu datang kepadaku? Aku menjawab: Aku telah datang kepadamu. Aku mengucap salam tiga kali di depan pintumu. Setelah tidak ada jawaban, aku kembali. Sebab, Rasulullah saw. telah bersabda: Apabila salah seorang di antara kalian minta izin tiga kali dan tidak mendapatkan jawaban, maka hendaklah ia kembali. Mendengar hal tersebut Umar bin Khottob mengatakan dengan tegas : “ Demi Allah, engkau harus mempunyai bukti bahwa ada saksi lain yang mendengar dari Rasulullah SAW “.
Ubay bin Ka’b yang memahami ketakutan Abu Musa Al-Asy’ari mengatakan : “Demi Allah, sungguh tidak perlu bersaksi untukmu dalam masalah ini, kecuali yang paling kecil di antara kami”. Karena pada waktu itu Abu Said Al Khudry adalah yang terkecil, maka ia pun memberikan kesaksian kepada Umar.
Dalam Muqaddimmah Ibnu Shalah disebutkan sikap sangat berhati-hatinya Umar
bin Khottob ra. dalam menerima hadits, tapi ia tdk meragukan sahabat yg
merawikannya melainkan berhati-hati terhadap hukum yang disampaikan oleh Nabi
SAW. Sebagai contoh ia mengatakan hal tersebut kepada sahabat Abu Musa Al
Asy’ari ra :

“ Saya tidak menuduh dan meragukanmu, tetapi aku khawatir orang-orang akan mengada-adakan perkataan atas nama rasulullah SAW”. 


Abu Musa dan Aisyah ra.
Contoh yang lain, Abu Hurairah ra pernah menyatakan sebuah hadits : “ Sesungguhnya mayyit itu diazab karena tangisan keluarganya atasnya”. maka Ummul Mu'minin Aisyah ra mengkritik hadits tersebut tidak pada sanadnya, melainkan pada redaksinya. Dimulai dengan mendoakan abu Hurairah ra, ia berkata : Semoga Allah SWT merahmati abu Hurairah, aku tidak pernah mendengarnya dari
Nabi SAW, tetapi aku mendengar Nabi SAW bersabda : “ Sesungguhnya Allah SWT akan menambah azab bagi orang-orang kafir”. Lalu Aisyah ra berdalih bahwa hadits abu Hurairah tersebut bertentangan dg ayat al-Qur'an :” Dan sesungguhnya seseorang itu tidak akan memikul dosa orang lain” (QS Al-An’am 164)
Ternyata hadits abu Hurairah tersebut diperkuat oleh riwayat yang lain dari Umar ra, Ibnu Abbas ra dan Ibnu Umar ra. Maka para muhaddits menyimpulkan bahwa dari segi sanad kedua hadits tersebut (hadits Aisyah maupun Abu Hurairah) shahih, maka ditafsirkan makna sebenarnya dari layu'adzdzabu artinya yata'allama (merasa sedih), artinya mayyit tersebut merasa sedih mengapa keluarganya tdk memahami hakikat kehidupan, sehingga mereka menangisinya.


KERANGKA DALAM MEMAHAMI HADITS
Pertama : Memahami as-Sunnah disesuaikan dengan al-Qur'an (Fahmu sunnah fi Dhau'il Qur'an ) Artinya memahami fungsi as-Sunnah yang merupakan penjelas (bayanu taudhih, tafsir) dan juga menambah apa yang tidak ada dalam al-Qur'an (bayanu tsabit), seperti al-Qur'an mengharamkan bangkai, tetapi hukum tersebut dihapuskan oleh as-Sunnah untuk bangkai ikan dalam hadits yang berbunyi : “ Laut itu suci airnya dan halal bangkainya/ikan”. (HR Daruqutni)
Kedua : Menggabungkan hadits-hadits dalam satu pengertian (Jam'ul ahadits fi maudhu'in wahid)
Jika melihat hadits bertentangan maka digabungkan sehingga didapat satu pengertian yg benar. Seperti hadits isbalul izar (Kain yg melewati kedua mata kaki di neraka) yang bertentangan dengan hadits Abubakar ra yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW membolehkan kain Abubakar melewati mata kakinya, karena ia tidak termasuk mereka yang sombong. Sehingga bisa didapatkan pengertian bahwa
ternyata yang diancam masuk neraka dengan isbalnya adalah jika dilakukan karena  kesombongan, setelah digabung dg hadits khuyala' (orang2 yg masuk neraka karena melabuhkan kain karena sombong).
Atau hadits lain yang menyatakan batalnya orang puasa yang berbekam, sementara hadits lainnya menyatakan tidak batal. Ternyata setelah digabungkan ditemukan bahwa dalam hadits pertama orang tersebut berbekam sambil mengghibbah dan berdusta sehingga batalnya karena hal tersebut dan bukan karena berbekamnya.
Ketiga : Melihat hadits berdasarkan sebabnya (Fahmul hadits fi dhau'i asbab wal mulabisat)
Seperti hadits Rasulullah SAW : “ kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian “ (HR Muslim). Hadits tersebut harus ditafsirkan berdasarkan sebabnya, yaitu Nabi SAW melewati sekelompok kaum di Madinah yang sedang mengawinkan pucuk kurma lalu Nabi SAW mengucapkan kata-kata yang ditafsirkan salah oleh orang-orang tersebut sehingga tahun berikutnya mereka tidak lagi mengawinkan pucuk kurma tersebut yang berakibat gagal panen. Sehingga keluarlah sabda Nabi SAW : Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian. Artinya dalam masalah sarana dan teknologi teknis bukan masalah-masalah atau dasar-dasar yang telah ada hukumnya dalam syariat Islam, seperti politik, ekonomi, dsb.
Keempat : Menghukumi hadits-hadits yang bertentangan (Fahmu at-Ta'arudh fil ahadits)
 Jika terdapat dua hadits yang seolah bertentangan secara makna, maka hendaknya dilakukan tiga upaya berikut :
1) Digabungkan (thariqatul jam'i) : Seperti dlm suatu hadits disebutkan Nabi SAW meminta dijadikan orang miskin, sementara banyak hadits-hadits lain Nabi SAW meminta kekayaan. Maka digabungkan bahwa yang dimaksud miskin dalam hadits pertama adalah sikap orang miskin yang tawadhu' (rendah hati dan tidak sombong).
2) Dilihat sejarahnya (ta'arikh), jika tidak bisa digabungkan pengertiannya (tetap bertentangan), maka dilihat mana yang lebih dulu dan mana yang belakangan, sehingga yang belakangan adalah menghapus hukum yang sebelumnya. Seperti hadits nikah Mut'ah (semacam kawin kontrak) yang banyak dipakai kaum Syi'ah, memang benar Nabi SAW pernah membolehkannya dalam sebuah peperangan tapi kemudian dihapus selama-lamanya oleh Nabi SAW setelah nampak bahaya dan dampaknya. Atau hadits yg melarang ziarah kubur, yang kemudian dihapus sendiri oleh Nabi SAW.
3) Dipilih mana yg lbh kuat (tarjih), jika kedua hal di atas tidak bisa juga, maka barulah dicari mana yang lebih shahih dan dibuang yang kurang shahih (artinya bisa juga keduanya shahih tapi yg satu lebih shahih dari yg lain, maka yg dipakai yg lebih shahih tersebut).
Kelima : Melihat pada isi hadits tersebut dan bukan pada sarananya (an Nazhru ilal ushul la lil wasa'il)
Contohnya adalah sebagai berikut :
1) Hadits bahwa Nabi SAW memakai gamis, ternyata banyak hadits yang menyebutkan bahwa Nabi SAW juga memakai kain Yamani, baju Kisrawaniyyah, dll. Ternyata ushul (konten asli) dari hadits tentang pakaian tersebut adalah menutup auratnya dan bukan pada jenis pakaiannya.
2) Hadits bahwa Nabi SAW memerintahkan belajar memanah, yang secara makna pokoknya adalah berlatih menggunakan senjata dan bukan pada panahnya. Demikian pula berkuda, yang pokok mengendarai kendaraannya dan bukan kudanya.
3) Hadits bahwa pengobatan terbaik adalah menggunakan kai (besi dipanaskan), ternyata yang pokok adalah metode shock terapy nya seperti dg akupunktur, refleksi, dsb.
Kelima : Menegaskan apa yg ditunjukkan oleh lafazh hadits (Ta'akkud dilalatu alfazh al hadits). Seperti hadits : La'anallahal mushawwirin (Allah melaknat para pelukis), yang dilalahnya atau makna yang ditunjukkan adalah jika untuk diagungkan, dipuja, atau berupa benar-benar lukisan tiga dimensi (patung), karena ternyata gambar yg telah dipotong dan dijadikan bantal oleh Aisyah ra tidak dilarang oleh Nabi SAW. (Dr.DaudRasyid – Materi Madah 1427 dengan beberapa perubahan)

PERTENTANGAN JARH DAN TA’DIL

Posted by Anton Sanjaya 0 komentar

Diantara para ulama terkadang terjadi pertentangan pendapat terhadap seorag perawi,. Ulama yang satu menta’dilkannya sedangkan yang lainnya mentajrihnya. Pada suatu kondisi hal tersebut tidak bisa dikompromikan, maka pendapat yang ada sebagai berikut :
a) Jarh di dahulukan dari ta’dil meskipun ulama yang menta’dilnya lebih banyak dari ulama yang mentajrih. Menurut al-Syaukani pendapat ini adalah pendapat jumhur, alasanya orang yang mentajrih mempunyai kelebihan mengetahui (cermat) melihat kekurangan perawi yang hal ini umumnya tidak dilihat secara jeli oleh orang yang menta’dil.
b) Ta’dil didahulukan dari jarh apabila orang yang menta’dil lebih banyak dariulama yang mentajrih, karena banyaknya yang menta’dil memperkuat keadaan mereka. Pendapat ini kemudian ditolak dengan alasan bahwa meskipun ulama yang menta’dil itu banyak, namun mereka tidak mungkin akan mau menta’dil sesuatu yang telah ditajrih oleh ulama lain.
c) Apabila jarh dan ta’dil saling bertentangan maka tidak dapat ditajrihkan salah satunya, kecuali ada salah satu yang menguatkannya, dengan demikian terpaksa kita tawaquf dari mengamalkan salah satunya sampai diketemukan hal yang menguatkan salah satunya.
d) Ta’dil harus di dahulukan dari jarh, karena pentarjih dalam mentajrih perawi menggunakan ukuran yang bukan substansi jarh, sedangkan menta’dil, kecuali setelah meneliti secara cermat persyaratan diterimanya ke’adalahannya seorang perawi.


Menurut Ujaj al-Khatib pendapat pertamalah yang dipegangi oleh ulama hadits, baik mutaqaddimin maupun mutaakhirin. Demikianlah sekilas pembahasan tentang jarh dan ta’dil yang merupakan ilmu tentang hal ikhwal para perawi dari segi diterima atau ditolaknya periwayatan mereka. ( disarikan dan digubah dari artikel Endad Musaddad).

TINGKATAN DAN LAFADZ-LAFAZD JARH DAN TA’DIL

Posted by Anton Sanjaya 0 komentar

Para perawi yang disebutkan mempunyai sifat ‘adalah sekalipun, tidak berarti mereka pada tingkatan yang sama. Karena itulah terdapat istilah dan lafadz khusus dikalangan ulama hadits untuk membedakan tingkatan-tingkatan perawi, baik dari sisi ‘adl maupun jarah 


Marothibu At-Ta’diil ( Tingkatan Ta’diil)
Tingkatan-tingkatan lafadz al-ta’diil:
1) Tingkatan Pertama : Menunjukkan rekomendasi secara mubalaghoh (berlebihan), dan menggunakan isim tafdhiil untuk menunjukkan paling utama. Lafadz yang digunakan misalnya : atsbatun naas (orang yang paling kuat haditsnya), autsaqo naas ( paling terpercaya), adhbatu naas ( paling kuat hafalannya)
2) Tingkatan Kedua : Menggunakan lafadz yang menunjukkan penguatan sifatsifat adalah dan tautsiiq. Lafadz yang digunakan misalnya: tsiqoh tsiqoh ( benarbenar tsiqoh ), tsiqoh ma’muun (terpercaya dan terjamin).
3) Tingkatan Ketiga : Menggunakan lafadz yang menunjukan sifat tsiqoh tapi tanpa penguatan. Lafadz yang digunakan : tsiqoh , mutqin, hujjah .
4) Tingkatan Keempat : Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi memang adil dan tsiqoh tapi tanpa penekanan secara khusus.. Lafadz yang digunakan misalnya: la ba’sa biih (tidak ada masalah dengannya), atau shoduq, ma’muun.
5) Tingkatan Kelima : Menggunakan lafadz yang samar atau tidak menunjukan bahwa perawi cukup adil dan tsiqoh. Lafadz yang digunakan misalnya: fulaan syaikh (dia seorang syeikh), ruwiya anhu naas ( orang meriwayatkan darinya)
6) Tingkatan Keenam : Menggunakan lafadz yang mengarah atau mendekati pada tajriih. misalnya dengan kata-kata: sholih hadits , yuktabu haditsuhu ( tercatat haditsnya)


Hukum Tingkatan Ta’diil :
- Untuk tingkatan pertama hingga ketiga, maka haditsnya layak dijadikan hujjah meskipun dengan kekuatan yang berbeda-beda.
- Untuk tingkatan keempat dan kelima, haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah, tapi haditsnya bisa dituliskan, dan diuji kembali tingkat ketelitian mereka dengan
membandingkan pada riwayat lain yang tsiqoh.
- Untuk tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah, dan haditsnya bisa dituliskan untuk i’tibaar semata.


Marothibu Al-Jarh ( Tingkatan Jarh)
Tingkatan-tingkatan lafadz al-Jarh:
1) Tingkatan Pertama : Mengemukakan sifat perawi untuk menunjukkan kelemahan, namun dengan lafadz yang paling ringan. Lafadz yang digunakan misalnya : fiihi dhoiif (dia ada lemahnya), fiihi maqool ( dia banyak dibincangkan), layyinul hadits ( lemah haditsnya)
2) Tingkatan Kedua : Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi itu lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah. Lafadz yang digunakan misalnya: dhoiif ( dia lemah ), lahu manakiir (banyak yang mengingkarinya), majhuul ( dia tidak dikenal).
3) Tingkatan Ketiga : Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa hadits yang diriwayatkannya sangat lemah dan haditsnya tidak dituliskan. Lafadz yang digunakan : la yuktab haditsuhu (tidak dicatat hadits darinya), la tahillu riwayah ( tidak boleh meriwayatkan) ,
4) Tingkatan Keempat : Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa bahwa perawi dituduh berdusta. Lafadz yang digunakan misalnya: huwa muttaham bil kadzib, (dia tertuduh sbg pendusta)atau muttaham bil wad’iy ( dia dianggap pemalsu hadits), atau matruk (dia ditinggalkan), atau laisa bitsiqoh (tidak terpercaya)
5) Tingkatan Kelima : Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi memang pendusta dan pemalsu.. Lafadz yang digunakan misalnya: huwa kadzzab (dia pendusta), atau huwa waddhoo’ (dia pemalsu hadits), atau juga dajjal (dia seperti dajjal /pendusta)
6) Tingkatan Keenam : Menggunakan lafadz yang menunjukan kecacatan perawi yang sangat parah dan mubalaghoh (berlebihan). misalnya dengan kata-kata: akdzabu nnas ( paling pendusta) , ruknul kadzib (pilarnya pendusta), atau ilahi muntahal kadzib (dia puncaknya kedustaan).


Hukum Tingkatan Jarh :
- untuk hadits pada tingkatan jarh yang pertama dan kedua, tidak bisa dijadikan hujjah namun boleh dituliskan hadistnya, untuk pelengkap dan i’tibaar saja.
- Namun untuk hadits pada tingkatan jarh yang keempat sampai keenam, maka haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah, tidak perlu ditulis, dan tidak perlu dianggap ada.


KETENTUAN JARH WA TA’DIIL

Posted by Anton Sanjaya 0 komentar

Berikut beberapa ketentuan dalam jarh dan ta’diil, antara lain :
1) Bersikap jujur dan proporsional, yaitu mengemukakan keadaan perawi secara apa adanya. Muhammad Sirin seperti dikutip Ajaz al-Khatib mengatakan: “ Anda mencelakai saudaramu apabila kamu menyebutkan kejelekannya tanpa menyebut-nyebutnkebaikannya”
2) Cermat dalam melakukan penelitian. Ulama misalnya secara cermat dapat membedakan antara dha'ifnya suatu hadits karena lemahnya agama perawi dan dha’ifnya suatu hadits karena perawinya tidak kuat hafalannya.
3) Tetap menjaga batas-batas kesopanan dalam melakukan Jarh dan Ta’dil. Ulama senantiasa dalam etika ilmiah dan santun yang tinggi dalam mengungkapkan hasil Jarh dan ta’dilnya. Bahkan untuk mengungkapkan kelemahan para perawi seorang ulama cukup mengatakan: “ la yakun tastaqiimu lisan” artinya“ kurang istiqomah dalam berbicara” .
4) Bersifat global dalam menta’dil dan terperinci dalam mentajrih. Lazimnya para ulama tidak menyebutkan sebab-sebab dalam menta’dil, misalnya tidak pernah disebutkan bahwa si fulan tsiqah atau ‘adil karena shalat, puasa, dan tidak menyakiti orang. Cukup mereka mengatakan “ si fulan tsiqah atau ‘adil”. Alasannya tidak disebutkan karena terlalu banyak. Lain halnya dengan al-Jarh, umumnya sebab-sebab al-Jarhnya disebutkan misalnya si “ fulan itu tidak bisa diterima haditsnya karena dia sering teledor, ceroboh, lebih banyak ragu, atau tidak dhabit atau pendusta atau fasik dan lain sebagainya.


Cara Mengetahui Sifat ‘Adalah seorang Perawi
Untuk mengetahui ‘adalahnya seorang perawi menurut Ujaj al-Khatib ada dua jalan:
Pertama : Melalui popularitas keadilan perawi dikalangan para ulama. Jadi bila seorang perawi sudah dikenal sebagai orang yang ‘adil seperti Malik bin Annas, Sufyan Tsauri, maka tidak perlu lagi diadakan penelitian lebih jauh lagi.
Kedua : Melalui tazkiyah, yaitu adanya seorang yang adil menyatakan keadilan seorang perawi yang semula belum dikenal keadilannya.


Adapun untuk mengetahui kecacatan juga dapat ditempuh seperti pada cara
mengetahui keadilan seorang perawi yang disebutkan di atas.

DASAR KEBOLEHAN MELAKUKAN JARH DAN TA’DIL

Posted by Anton Sanjaya 0 komentar

Para Ulama menyatakan legalitas dan kebolehan Jarh wa Ta’dil, serta tidak memandangnya sebagai ghibah yang diharamkan, berdasarkan beberapa dalil diantaranya :


Pertama : Firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 6: Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.(QS. Al-Hujurat: 6).
Kedua : Rasulullah SAW bersabda tentang Muawiyah dan Abi Jahm ketika Fatimah binti Qais bertanya kepada beliau perihal keduanya yang sama-sama meminangnya. Rasulullah SAW bersabda :” Adapun Abu Jahm, dia tidak meletakkan tongkatnya dari pundaknya (kiasan untuk menunjukkan sifat suka memukul), sedangkan Muawiyah sangat faqir, tidak punya harta. Nikahlah dengan Usamah bin Zaid (HR Muslim)
Ketiga : Banyak hadits lain yang menyebutkan Rasulullah SAW memuji dan merekomendasikan beberapa sahabatnya yang mulia, bahkan ada yang disebutkan sebagai seorang yang mempunyai nilai kesaksian setara dua kesaksian sahabat, yaitu Abu Khuzaimah al Anshori. 


Selain itu semua, sesungguhnya al-Jarh dan ta’dil ini telah diperaktekan pada masa sahabat, tabi’in, dan generasi selanajutnya. Karena itulah, para ulama membolehkannya dalam rangka menjaga kepentingan syari’at Islamiyah, bukan mencela dan membuka aib orang lain. Semua dalam rangka memelihara sumber syari’ah yang didasari kejujuran dan niat yang ikhlas.

PENGERTIAN AL-JARH WA AT-TA’DIIL

Posted by Anton Sanjaya 0 komentar
Pengertian Aj-Jarh 
1) Secara bahasa lafadz al-Jarh adalah masdar dari kata kerja jaroha yajrohujarhan , yang berarti melukai sebagian badan yang memungkinkan darah dapat mengalir. Disamping itu juga mempunyai arti menolak seperti dalam kalimat “ jaroha al-hakim asy-syaahid“ yang berarti “hakim itu menolak saksi”.
2) Adapun Menurut Istilah, al-Jarh ialah: “Menampakan suatu sifat rawi yang dapat merusak sifat ‘adalahnya atau merusak kekuatan hafalan dan ketelitiannya serta apa-apa yang dapat menggugurkan riwayatnya atau menyebabkan riwayatnya tertolak”.


Pengertian at-Ta’diil
1) ‘Adl secara bahasa berarti : apa yang tegak dalam hati yang menunjukkan lurus dan keistiqomahan. Seorang yang disebut ‘adl artinya bisa diterima kesaksiannya.
2) Adapun pengertian ‘adl secara istilah adalah : yang tidak nampak sifat-sifat merusak agama dan kewibawaannya, karenanya diterima kesaksian dan pengabaran darinya.
3) Sementara Ta’diil adalah : mensifati perawi dengan sifat-baik baik (tazkiyah) sehingga nampak ‘adalahnya (keadilan) dan diterima riwayat darinya.


Dengan demikian, ilmu jarh wa ta’diil adalah : ilmu yang membahas di dalamnya
seputar Jarh (rekomendasi) dan Ta’dil para perawi dengan menggunakan lafadz dan
istilah tertentu, untuk menilai diterima atau ditolak riwayat dari mereka.

HADITS DHOIF KARENA PERMASALAHAN PADA PERAWI

Posted by Anton Sanjaya 0 komentar
Al-Hafidz Ibnu Hajar menyusun urutan tingkatan kelemahan sebuah hadits dari sisi ini menjadi tujuh : Maudhu’, Matruk, Munkar, Muallal, Mudroj , Maqlub dan Mudthorib


1) HADITS MAUDHU’
Pengertian & Hukumnya
Hadits yang disebabkan karena perawinya berdusta atas nama Rasulullah SAW maka disebut dengan hadits maudhu’. Secara istilah, hadits maudhu’ adalah khabar palsu dan dusta yang dinisbatkan kepada Nabi SAW. Secara tingkatan hadits dhoif, hadits maudhu’ masuk dalam tingkatan yang paling buruk dari yang lainnya, sehingga sebagian ulama lain memasukkan dalam kategori yang tersendiri, tidak termasuk dalam golongan hadits dhoif. Para ulama bersepakat bahwa tidak boleh meriwayatkan hadits maudhu’ -dengan sepengetahuannya- tanpa menjelaskan tentang status kepalsuannya tersebut.


Bagaimana Mengenali Hadits Maudhu’ ?
Hadits maudhu’ bisa dikenali melalui beberapa hal sebagai berikut :
a) Pengakuan dari pemalsu hadits tersebut, sebagaimana pengakuan Abi Ismah Nuh bin Abi Maryam, yang mengaku bahwa ia telah membuat hadits tentang fadhilah setiap surat dari Al-Quran dengan mengatasnamakan dari Ibnu Abbas.
b) Semacam pengakuan secara tidak langsung. Misalnya seorang meriwayatkan hadits dari syeikhnya, kemudian ditanya tentang tanggal wafatnya syeikh tersebut, ternyata wafatnya sebelum ia lahir, sementara hadits itu tidak dikenal kecuali dari jalurnya sendiri.
c) Bukti pembanding (qorinah) yang ada pada diri perawi, seperti bahwa perawi masuk dalam golongan rofidhoh sementara haditsnya berkaitan tentang keutamaan ahlul bait, misalnya.
d) Keterangan dalam matan atau konteks hadits, yang biasanya berlebihan, menyalahi logika atau penjelasan Al-Quran.


Motivasi membuat Hadits Maudhu’
1) Penodaan dan Pelecehan Agama : Yaitu membuat hadits palsu untuk membuat keraguan dalam ajaran Islam atau hal-hal baru yang menyesatkan. Misalnya Muhammad bin Said as-Syaami yang meriwayatkan dari Humaid dari anas secara marfu’ : “ aku penutup para nabi, tidak ada nabi setelahku kecuali Allah berkehendak lain “.
2) Menuruti Hawa Nafsu untuk Memenangkan Golongannya : sebagaimana yang dibuat oleh pengikut rafidhoh yang melebih-lebihkan Ali bin Abi tholib untuk menguatkan dan memenangkan madzhabnya.
3) Upaya mendekati Penguasa : sebagian yang lemah iman berupaya memunculkan hadits palsu untuk mendapatkan simpati dan kedekatan dengan para penguasa, baik gubernur maupun khalifah pada waktu tersebut.
4) Mengejar Popularitas dan Ketertarikan Manusia : dengan hadits yang palsu tersebut ia membuat banyak orang terperangah dengan kisah-kisah hebatnya yang belum pernah mereka dengar sebelumnya. Contoh dalam hal ini adalah Abu Said al Madainy yang menjadikan kisah-kisah tersebut diperdengarkan ke pada orang-orang agar mereka memberikan uang sebagai penghargaannya.
5) Motivasi Beramal Sholih : ini bentuk maudhu’ yang tersembunyi karena seringkali manusia tertipu, mengingat isi hadits ini berisi kebaikan, berupa fadhilah dan keutamaan sebuah amal yang sangat memotivasi bagi yang mendengarnya untuk dikerjakan. Contohnya : “barang siapa yang sholat dhuha
maka mendapat pahala 70 nabi. “


2) HADITS MATRUK
Adalah hadits yang didalam sanadnya ada perawi yang disangka suka berdusta. Sebab tuduhan dan sangkaan ini bisa jadi karena salah satu dari hal berikut. Pertama, bahwa memang tidak ada riwayat lain dari hadits tersebut kecuali dari jalannya. Kedua, perawi dikenal dengan pendusta dalam ucapan-ucapannya terdahulu, meskipun belum muncul atau terbukti dalam hadits nabawi. Contoh hadits matruk : Hadits seorang penganut syiah Amru bin Syamir al-Kuufi : dari Jabir dari Abi Thufail dari Ali dan ‘Ammar keduanya mengatakan : adalah Nabi SAW melakukan qunut pada sholat fajr, dan memulai bertakbir pada hari arafat pada sholat shubuh, dan menghentikannya pada sholat ashar hari tasyriq yang terakhir”. Imam An-Nasa’iy dan Daruquthni dan yang lainnya mengatakan tentang Amru bin Syamir : matrukul hadits .


3) HADITS MUNKAR
Hadits munkar mempunyai setidaknya dua pengertian dengan penekanan yang berbeda :
1) Hadits yang di dalam sanadnya ada satu perawi yang dikenal buruk hafalannya, atau sering teledor (lalai) atau terlihat kefasikannya.
2) Menurut Ibnu Hajar : Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi dhoif yang bertentangan dengan riwayat perawi lain yang tsiqoh. Tingkatan hadits ini termasuk kategori dhoif jiddan (lemah sekali) dan mengikuti tingkatan hadits setelah matruk.  Contoh hadits ini ( pengertian pertama ) : Yang diriwayatkan oleh An-Nasai dan Ibnu Majah dari riwayat Abu Zukair Yahya bin Muhammad bin Qois dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah ra secara marfu’ : “ makanlah balah (jenis kurma kering) dan kurma, sesungguhnya setiap ibnu adam memakannya, setan menjadi marah. “. Imam An-Nasaiy mengatakan : ini hadits munkar, diriwayatkan secara sendirian oleh Abu Zukair, dia adalah seorang syaikh sholeh, tetapi diragukan hafalannya khususnya jika meriwayakan sendirian.


4) HADITS MUA’LLAL
Yaitu hadits yang setelah dilihat dengan lebih teliti terdapat ‘cacat’ atau aib yang menggugurkan kesahihannya, meskipun secara dhohir terlihat selamat dari cacat tersebut. Aib atau cacat tersebut bisa jadi ada pada sanad ataupun matannya, atau bahkan keduanya. Contoh illat yang ada pada sanad : Hadits yang diriwayatkan oleh Ya’la bin Ubaid dari Sufyan At-Tsauri, dari Amru bin Dinar, dari Ibnu Umar, dari Nabi SAW, ia bersabda : “ kedua penjual dalam masa tenggang pemilihan …… “. Permasalahan sanad di atas adalah, kesalahan Ya’la bin Ubaid yang menyebutkan perawi sebelum Sufyan at- Tsauri sebagai Amru bin Dinar, padahal para ulama hadits lain menyebutkan bahwa yang benar adalah : “Abdullah bin Dinar” bukan “Amru bin Dinar”.


5) HADITS MUDROJ
Yaitu hadits yang diubah susunan sanadnya atau disisipkan dalam lafadz matannya apa-apa yang bukan bagian dari hadits tersebut, tanpa batasan pemisah. Misal hadits mudroj: seorang syaikh sedang menyampaikan hadits pada murid-muridnya, lalu ada sebuah kondisi atau kejadian yang membuatnya berhenti dan mengatakan sebuah perkataan lain bukan dari hadits, namun disangka oleh murid muridnya itu adalah bagian dari hadits yang akan disampaikan. Kondisi ini bisa terjadi pada sanadnya atau juga matan hadits, dimana ada perkataan lain yang ikut dimasukkan dalam lafadz hadits tanpa garis pemisah yang jelas dengan hadits aslinya. Contoh hadits Aisyah seputar permulaan wahyu : “ dahulu Nabi SAW betahannuts (menyendiri) di gua hiro – yaitu beribadah – beberapa malam tertentu “. Ungkapan “ yaitu beribadah” adalah perkataan Zuhri bukan Aisyah ra.


6) HADITS MAQLUB
Yaitu hadits yang didalamnya ada penggantian atau pembalikan lafadz hadits baik dalam sanad maupun matannya, penggantian tersebut bisa dengan mengganti yang awal jadi akhir, atau akhir jadi awal dan semacamnya. Contoh hadits maqlub : yang diriwayatkan oleh Hamad bin Amru –al kadzzab- dari al-A’masy dari Abi Sholih, dari Abu Hurairoh secara marfu’ : “ jika engkau bertemu dengan orang musyrikin di jalan maka jangan mulai memberi salam “. Hadits ini maqlub, sanadnya diganti dari a’masy, padahal sudah dikenal yang benar adalah dari Suhail bin Sholih dari ayahnya dari Abu Huroiroh.


7) HADITS MUDHTORIB
Yaitu hadist yang diriwayatkan dengan berbagai riwayat versi beragam yang mempunyai kekuatan yang sama atau berimbang, yang tidak memungkinkan untuk digabungkan ( al-jam’) antara keduanya, dan tidak memungkinkan pula ditarjih (dipilih) salah satu dari keduanya. Bentuk idhtirob dalam hadits ini bisa jadi dalam sanad atau bisa jadi dalam matannya. Seperti, hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Fatimah binti Qois, ia berkata : Rasulullah ditanya tentang zakat, lalu beliau menjawab : “ sesungguhnya dalam harta kita, ada kewajiban selain zakat”. Sementara Ibnu Majah dengan riwayat : “ sesungguhnya tidak kewajiban dalam harta selain zakat”. Selain pembagian dan istilah hadits di atas, terdapat juga hadits dhoif jenis kategori lain dengan sebab yang beragam pula, kami sebutkan secara sederhana sebagai berikut :
Hadits Majhul : hadits yang dalam sanadny ada perwai yang tidak diketahui jarh dan ta’dilnya.
Hadits Mubham : Yaitu hadits yang tidak menyebutkan nama dalam rangkaian sanadnya. Contohnya adalah hadits Hujaj ibn Furadhah dari seseorang (rajul), dari Abi Salamah dari Abi Hurairah.
Hadits Syadz : Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang tsiqoh namun bertentangan dengan hadits lain yang riwayatnya lebih kuat dan perawinya lebih tsiqoh
Hadits Mushohhaf : Yaitu hadits yang terdapat perubahan dari sisi penulisannya, baik dalam sanad dan matan. Misal dalam matan : ‘ihtajaro ..’ menjadi “ ihtajama ..”, atau misal dalam sanad : nama perawi jamroh mestinya hamzah.



HADITS DHOIF YANG DISEBABKAN SANADNYA TERPUTUS

Posted by Anton Sanjaya 1 komentar

Hadits Dhaif yang masuk kategori jenis ini di bagi lagi menjadi : Hadits Muallaq, Muaddhol, Mursal dan Munqoti’, dan Mudallas.


1) HADITS MUALLAQ
Pengertian : Yaitu hadits yang pada permulaan sanadnya telah dibuang satu atau lebih rawi secara berurutan. Yang dimaksud permulaan sanad ini adalah syaikh dari perawi hadits yang menuliskan haditsnya tersebut. Termasuk dalam kategori ini yaitu yang membuang semua sanad, lalu mengatakan langsung Rasulullah SAW bersabda : ….. .
Terkadang ada juga yang membuang sanad selain Sahabat.
Contoh hadits mualaq :

Yang dikeluarkan oleh Bukhori dalam muqoddimah sebuah bab, Imam Bukhori menyebutkan : Berkata Abu Musa Al-Asyarie : “ adalah nabi SAW menutupi pahanya ketika datang Utsman “.
Maka hadits di atas masuk kategori muallaq, karena Imam Bukhori membuang semua sanadnya kecuali sahabat, yaitu Abu Musa Al-Asy’arie.


Hukum Hadits Muallaq
Hukum hadits muallaq secara umum termasuk tertolak (mardud) karena kehilangan syarat ittisolu sanad (bersambungnya sanad), dengan membuang satu atau lebih perawinya, tanpa kita mengetahui keadaan perawi yang dibuang. Namun para ulama mempunyai pembahasan secara khusus, jika hadits muallaq tersebut ada dalam kitab shohihain. Perlu diketahui bahwa jumlah hadits muallaq dalam shohih Muslim sangat sedikit, ada yang menyebutkan cuma satu dalam bab Tayammum.
Namun hadits muallaq dalam shohih bukhori banyak, khususnya dalam pembukaan sebuah bab tertentu. Maka kemudian ulama berpendapat tentang hukum hadits muallaq dalam shohihain sebagai berikut :
1) Jika disebutkan dengan ungkapan yang kuat dan jelas , seperti : qoola ( ia mengatakan), atau hakaa ( ia mengisahkan ), atau dzakaro ( ia menyebutkan) , maka dihukumi shohih.
2) Jika disebutkan dengan ungkapan yang mengambang, seperti : qiila (dikatakan.. ) atau dzukira ( disebutkan .. ), atau hukiya ( dikisahkan … ) , maka perlu diteliti lebih lanjut, karena bisa masuk shohih, hasan atau dhoif.
Namun meskipun demikian, Ibnu Hajar telah meneliti hadits-hadits muallaq dalam
shohih Bukhori melalui kitabnya “ taghliiqu ta’liq” yang menghasilkan temuan
bahwa sanad-sanad hadits muallaq imam Bukhori adalah bersambung.

2) HADITS MURSAL
Pengertian dan Contoh
Yaitu hadits yang disandarkan oleh Tabi’in langsung kepada Rasulullah SAW. Misalnya seorang Tabi’in mengatakan : Rasulullah SAW bersabda ……, tanpa menyebutkan perantara (wasithoh) antara dia dan Rasulullah SAW. Bisa jadi perantara tersebut adalah seorang sahabat, atau seorang sahabat dan tabiin yang lain misalnya.
Contoh hadits Mursal : Yang dikeluarkan imam Muslim dalam shohihnya kitab Jual beli, ia menuliskan (setelah menyebutkan perawi setelahnya) dari Ibnu Syihab, dari Saiid bin Musayyab, bahwasanya “ Rasulullah SAW melarang jual beli muzabanah (menukar buah kurma belum matang yang masih di atas pohon dengan kurma yang ada di karung “. Said bin Musayyab adalah pembesar tabi’in, ia tidak menyebutkan perantara antara dia dengan Rasulullah SAW, maka tergolong hadits mursal.


Mursal Shohaby
Yaitu Hadist yang dikabarkan oleh sahabat tentang ucapan, perbuatan Rasulullah SAW, sementara sahabat tersebut tidak mendengar atau melihat langsung, karena masih kecil, atau belum masuk Islam, atau sedang bepergian. Contoh : ibnu Abbas, ibnu Zubair dan yang lainnya.


Hukum Hadits Mursal :
a) Mursal sahabat disepakati penerimaannya oleh jumhur ulama.
b) Mursal Tabi’in diterima oleh Malikiyah, Hanafiyah dan Syafi’iyah khususnya yang berasal dari Kibaru Tabiin seperti Sa’ad bin Musayyab, Hasan Al Bashry, Ibrahim an-Nakh’iy,
c) Imam Ahmad menolak mursal tabi’in, begitu pula Ibnu Sholah dalam muqoddimahnya yang kemudian menjadi standar dalam ulumul hadits secara umum.


3) HADITS MUNQOTHI’
Hadits Munqothi menurut Ulama Muhadditsin adalah : Hadist yang sanadnya terputus pada salah satu atau lebih dari perawinya, dibawah tingkatan sahabat dan tidak secara berturut-turut. Sementara menurut Fuqoha , hadits munqothi’ adalah semua yang tidak bersambung sanadnya.
Contoh hadits ini adalah : Apa yang diriwayatkan Abdurrozaq, dari Syauri, dari Abu Ishaq, dari Zaid , dari Hudzaifah secara marfu’ : “ jika engkau mengangkat Abu Bakar, maka dia kuat lagi terpercaya “.
Riwayat yang sebenarnya adalah Abd Rozak meriwayatkan hadits dari Nukman bin Abi Saybah al-Jundi bukan dari Syauri. Sedangkan Syauri tidak meriwayatkan hadits dari Abi Ishak, akan tetapi ia meriwayatkan hadits dari Syarik dari Abu Ishaw. Dari riwayat yang sesungguhnya kita dapat mengetahui bahwa hadits di atas adalah termasuk hadits yang munqoti’.


4) HADITS MU’DLOL
Yaitu hadits yang hilang dua rawinya atau lebih secara berurutan ditengah sanadnya.
Contoh : Yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dengan sanadnya : Malik Mengatakan : Telah sampai kepadaku Abu Hurairah mengatakan: “ bagi budak (berhak) mendapatkan makanan dan pakaian secara makruf ( baik sesuai kebiasaan)”. Hadits ini tergolong hadits mu’dhlol karena antara Malik dan Abu Huroirah terdapat dua tingkatan perawi, seharusnya adalah : dari Malik, dari Muhammad bin Ajlan, dari ayahnya, dari Abu Hurairah.


5) HADITS MUDALLAS
Yaitu hadits yang diriwayatkan dengan menghilangkan rawi diatasnya untuk menyembunyikan aib sanadnya. Tadlis sendiri dibagi menjadi beberapa macam, gambaran umumnya sebagai berikut :
a) Tadlis Isnad : perawi meriwayatkan dari syeikh yang pernah ia temui atau yang ia hidup sejaman dengannya, tetapi sebenarnya ia tidak pernah mendengar hadits tersebut langsung darinya. Karenanya ia menggunakan lafadz yang kabur, seperti : ‘an fulan (dari fulan) .. qoola fulan (berkata fulan), yang tidak menunjukkan arti ia mendengar darinya. Jika perawi tersebut menggunakan kata yang jelas seperti : aku mendengar dari fulan , maka ia adalah pendusta bukan seorang mudallis.
b) Tadlis Taswiyah : Seorang perawi meriwayatkan dari syeikhnya, kemudian menggugurkan salah satu sanad diatasnya yang dhoif yang terdapat diantara dua tsiqoh yang masih mempunyai kemungkinan bertemu, dengan menggunakan kata-kata yang mengambang. Ini dilakukan untuk menjaga
hadits dari aib, sehingga hasilnya sanadnya tsiqoh semua.
c) Tadlis Suyukh : menyamarkan nama syeikhnya yang mungkin masuk kategori dho’if dengan menyebutkan sifatnya, julukannya, atau nasabnya sehingga menjadi tidak dikenal. Misalnya : Abu Bakar Bin Mujahid mengatakan : telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Abi Abdallah, padahal yang ia maksud adalah Abu Bakar bin Abi Daud


HUKUM BERAMAL DENGAN HADITS DHOIF

Posted by Anton Sanjaya 2 komentar

Ulama-ulama hadits telah sepakat bahwa kita tidak boleh mengamalkan hadits dhaif dalam bidang aqidah (keyakinan) dan hukum halal harom. Tetapi mereka berbeda pendapat tentang mempergunakannya dalam bidang-bidang tertentu sebagaimana berikut :
1) Fadha ‘ilul A’mal (Keutamaan-Keutamaan Amal) : Yaitu hadits-hadits yang menerangkan tentang keutamaan-keutamaan amal yang sifatnya sunnah ringan, yang sama sekali tidak terkait dengan masalah hukum yang qath’i, juga tidak terkait dengan masalah aqidah dan juga tidak terkait dengan dosa besar.
2) At-Targhiib (Memotivasi) : Yaitu hadits-hadits yang berisi pemberian semangat untuk mengerjakan suatu amal dengan janji Pahala dan Surga.
3) At-Tarhiib (Menakut-nakuti) : Yaitu hadits-hadits yang berisi ancaman Neraka dan hal-hal yang mengerikan bagi orang yang mengerjakan suatu perbuatan.
4) Al-Qoshos : Kisah-kisah Tentang Para Nabi Dan Orang-Orang Sholeh
5) Do’a Dan Dzikir : Yaitu hadits-hadits yang berisi lafazh-lafazh do’a dan dzikir.

Dalam menyikapi permasalahan beramal dengan hadits dhoif , pendapat yang ada terbagi menjadi tiga , masing-masing :


Pendapat Pertama : Menurut Al-Bukhari, Muslim, Abu Bakar Ibnul ‘Araby, Ibnu Hazm dan segenap pengikut Dawud Adz-Dzahiry: kita tidak boleh mengamalkan hadits dhaif dalam bidang apapun juga walaupun untuk menerangkan fadha ‘ilul a’mal, supaya orang tidak mengatas namakan Nabi SAW, perkataan/perbuatan yang tidak disabdakan/diperbuat oleh beliau. Sebagaimana peringatan dari beliau dalam masalah ini : “Barangsiapa menceritakan sesuatu hal daripadaku, padahal ia tahu bahwa hadits itu bukanlah dariku, maka orang itu termasuk golongan pendusta.” (HR. Muslim) dan hadits lain : “Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menyediakan tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Pendapat Kedua : Sedangkan menurut imam An-Nawawi dan sebagian ulama hadits dan para fuqaha: kita boleh mempergunakan hadits yang dhaif untuk fadha ‘ilul a’mal, baik untuk yang bersifat targhib maupun yang bersifat tarhib, yaitu sepanjang hadits tersebut belum sampai ke derajat maudhu (palsu). Imam An-Nawawi memperingatkan bahwa diperbolehkannya hal tersebut bukan untuk menetapkan
hukum, melainkan hanya untuk menerangkan keutamaan amal, yang hukumnya telah ditetapkan oleh hadits shahih, setidak-tidaknya hadits hasan.


Menurut Imam Asy-Syarkhawi dalam kitab Al-Qaulul Badi’, bahwa Ibnu Hajar memperbolehkan untuk mengamalkan hadits dhaif dalam bidang targhib dan tarhib dengan tiga syarat berikut:
1. Kedhaifan hadits tersebut tidaklah seberapa, yaitu: hadits itu tidak diriwayatkan oleh orang-orang yang dusta, atau yang tertuduh dusta atau yang sering keliru dalam meriwayatkan hadits.
2. Keutamaan perbuatan yang terkandung dalam hadits dhaif tersebut sudah termasuk dalam dalil yang lain (baik Al-Qur’an maupun hadits shahih) yang bersifat umum, sehingga perbuatan itu tidak termasuk perbuatan yang sama sekali tidak mempunyai asal/dasar.
3. Tatkala kita mengamalkan hadits dhaif tersebut, janganlah kita mengi’tiqadkan bahwa perbuatan itu telah diperbuat oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau pernah disabdakan beliau, yaitu agar kita tidak mengatas namakan sesuatu pekerjaan yang tidak diperbuat atau disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.


Pendapat Ketiga : Diriwayatkan dari sebagian besar fuqoha’ yaitu kebolehan beramal dengan hadits dhoif secara mutlak, jika tidak ditemukan hadits selainnya dalam sebuah tema atau pembahasan. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Hanifah, Syafi’I, Malik dan Ahmad. Meskipun khusus untuk imam Ahmad, pendapat seperti ini bisa dipahami karena menurut beliau pembagian hadits adalah Shohih dan Dhoif saja, sehingga sangat memungkinkan yang dimaksud imam Ahmad di sini adalah hadits dhoif yang bernilai hasan


TINGKATAN SANAD HADITS DHOIF

Posted by Anton Sanjaya 0 komentar
Sebagaimana hadits shohih yang mempunyai tingkat dan kekuatan sanad yang berbeda, sehingga ada yang disebut dengan asohhul asanid (sanad yang terbaik), maka para ulama pun menyebutkan dalam pembahasan hadits dhoif apa yang disebut dengan sanad yang terlemah atau “auha al asanid”. Diantara contoh dari sanad (jalur periwayatan) hadits dhoif antara lain :
a) Dari jalur Abu Bakar As-Shiddiq : “ Shidqoh bin Musa ad-daqiqiy dari Farqod As- Subhy dari Murroh At-Thiib dari Abu Bakar “
b) Dari jalur Ulama Syam : Muhammad bin Qois dari Ubaidillah bin Zahr dari Ali bin Yazid dari Qosim dari Abi Umamah “
c) Dari Jalur Ibnu Abbas : As-Suudy As-Shogir Muhammad bin Marwan dari al- Kalby dari Abi Sholih dari Ibnu Abbas.

PENGERTIAN HADITS DHOIF

Posted by Anton Sanjaya 0 komentar

Secara bahasa dhoif adalah lemah atau lawan kata dari qowiiy (kuat). Lemah disini adalah maknawi bukan lemah dalam arti fisik. Secara istilah, hadits dhoif adalah yang tidak mampu mengumpulkan sifat-sifat atau memenuhi syarat-syarat hadits hasan.
Kelemahan hadits dhoif pun bertingkat-tingkat bergantung pada kelemahan para perawinya, atau keburukan hafalannya, sebagaimana pula hadits shohih yang juga mempunyai tingkatan. Maka kemudian dikenal penamaan yang beragam untuk hadits dhoif , seperti : dhoif jiddan, munkar, wahy, atau yang paling buruk jenisnya adalah maudhu’.



CONTOH HADITS DHOIF
Salah satu contoh hadits dhoif adalah riwayat yang berbunyi :


" Barang siapa sholat enam rekaat setelah maghrib, dan tidak berbicara buruk diantara itu semua, maka seimbang dengan ibadah dua belas tahun " (HR Tirmidzi) .
Hadits diatas diriwayatkan oleh Umar bin Rosyid dari Yahya bin Abi Bakar dari Abu Salamh dari Abu Huroiroh. Tentang nama perawi Umar bin Rosyid di atas, Imam Ahmad, Ad-Daruqutni mengatakan : dia dhoif. Imam Ahmad menambahkan tentangnya : hadistnya tidak bernilai sedikitpun. Tirmidzi mengomentari hadits tersebut : Ini Hadits Gharib kami tidak mengetahuinya kecuali melalui jalan Umar, sementara saya mendengar Bukhori mengatakan tentangnya bahwa Umar : dia munkarul hadits.

SEPUTAR HADIST DHOIF

Posted by Anton Sanjaya 0 komentar

Setelah kita mempelajari tentang pembagian berita/ khobar yang maqbul (diterima)atau layak dijadikan hujjah dan dalil, maka pembahasan kali ini adalah mengenai khobar mardud atau riwayat hadits yang tertolak atau tidak bisa diterima sebagai hujjah. Para ulama membagi khobar mardud ini dengan pembagian yang begitu banyak, bahkan hingga mencapai empat puluh macam, dimana setiap macamnya diberikan istilah khusus yang membedakan dengan yang lainnya, namun ada juga yang tidak diberikan istilah secara khusus, dan diberikan istilah umum yaitu ‘dhoif’ saja.


Sebuah hadits masuk dalam kategori tertolak disebabkan oleh banyak hal, namun
umumnya bisa dikategorikan dalam dua sebab utama, masing-masing :
1) Adanya permasalahan pada sanad ( riwayat ), ada yang terputus atau hilang dan semacamnya
2) Adanya tuduhan pada perawinya, bisa karena sisi hafalannya ( ad-dhobt) atau juga karena sisi kepribadian dan ketakwaan ( ‘adalah)


Setiap sebab diatas kemudian menurunkan ragam macam hadits dhoif yang akan dibahas lebih khusus dalam kesempatan materi berikutnya. Untuk pembahasan awal, kita akan mengkaji seputar hadits dhoif secara umum.

HASAN LIGHOIRIHI

Posted by Anton Sanjaya 1 komentar

Pengertian
Hadits Hasan lighoiri adalah hadist dhoif yang mempunyai banyak jalan periwayatan, dan sebab kedhaifan hadits tersebut bukan karena kefasiqan perawinya atau kedustaannya. Dengan demikian, dari pengertian di atas, kita bisa ambil kesimpulan bahwa hadits dhoif bisa naik tingkatannya menjadi Hasan lighoirihi dengan dua syarat :
1) Diriwayatakan dari satu atau lebih jalan periwayatan lain, yang minimal jalan tersebut setara dengannya atau lebih kuat kualitasnya.
2) Sebab kedhaifan hadits tersebut adalah karena buruknya hafalan perawinya, atau terputus sanadnya, atau adanya status jahalah (tidak terkenal )pada perawinya. Sehingga bukan karena kefasiqan perawi atau dikenal karena kedustaannya.

Tingkatan dan Hukum Hadits Hasan Lighoirihi
Tingkatan hadits ini adalah dibawah hasan li dzatihi, sehingga jika ada pertentangan harus didahulukan hadits hasan. Hadits hasan lighoiri termasuk kategori hadits maqbul yang layak untuk dijadikkan hujjah dalam beramal.

Contoh hadits hasan lighoirihi
Yaitu yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan dihasankan oleh beliau, dari jalan Syu’bah dari Ashim bin Ubaidillah, dari Abdullah bin Amir bin Robi’ dari ayahnya, bahwa ada seorang perempuan dari bani Fazaroh yang menikah dengan mahar sepasang sandal. Maka Rasulullah SAW pun bertanya kepadanya : “ Apakah engkau ridho terhadap dirimu dan hartamu dengan sepasang sandal ini ? “ Perempuan tadi menjawab : “ Ya “. Maka kemudian Rasulullah SAW membolehkannya.
Di dalam sanad di atas ada nama Ashim bin Ubaidillah yang dikenal sebagai perawi dhaif karena hafalannya yang buruk, namun Tirmidzi menghasankan karena periwayatannya yang tidak hanya pada satu jalan saja.


(Kitab Taysîr Musthalah al-Hadîts karya Dr. Mahmûd ath-Thahhân,)

KITAB-KITAB YANG BANYAK DITEMUKAN HADITS HASAN

Posted by Anton Sanjaya 0 komentar
Para ulama belum ada yang mengarang kitab-kitab secara terpisah (tersendiri) yang memuat hadits Hasan saja sebagaimana yang mereka lakukan terhadap hadits Shahîh di dalam kitab-kitab terpisah (tersendiri), akan tetapi ada beberapa kitab yang di dalamnya banyak ditemukan hadits Hasan. 
Di antaranya yang paling masyhur adalah:


1) Kitab Jâmi at-Turmudzy atau yang lebih dikenal dengan Sunan at-Turmudzy.
Buku inilah yang merupakan induk di dalam mengenal hadits Hasan sebab at- Turmudzy-lah orang pertama yang memasyhurkan istilah ini di dalam bukunya dan orang yang paling banyak menyinggungnya. Namun yang perlu diberikan catatan, bahwa terdapat banyak naskah untuk bukunya tersebut yang memuat ungkapan beliau, Hasan Shohih, sehingga karenanya, seorang penuntut ilmu harus memperhatikan hal ini dengan memilih naskah yang telah ditahqiq (dianalisis) dan telah dikonfirmasikan dengan naskah-naskah asli (manuscript) yang dapat dipercaya.


2) Kitab Sunan Abi Dâ`ûd.
Pengarang buku ini, Abu Dâ`ûd menyebutkan hal ini di dalam risalah (surat)-nya kepada penduduk Mekkah bahwa dirinya menyinggung hadits Shahih dan yang sepertinya atau mirip dengannya di dalamnya. Bila terdapat kelemahan yang amat sangat, beliau menjelaskannya sedangkan yang tidak dikomentarinya, maka ia hadits yang layak. Maka berdasarkan hal itu, bila kita mendapatkan satu hadits di dalamnya yang tidak beliau jelaskan kelemahannya dan tidak ada seorang ulama terpecayapun yang menilainya Shahih, maka ia Hasan menurut Abu Dâ`ûd.


3) Kitab Sunan ad-Dâruquthny.
Beliau telah banyak sekali menyatakannya secara tertulis di dalam kitabnya ini.

ISTILAH DALAM HADITS HASAN

Posted by Anton Sanjaya 0 komentar
Tingkatan dari Pernyataan: Hadits Shahih Isnad atau Hasan Isnad.
Pernyataan ahli hadits: ‘Hadits ini shahih isnad’ berbeda maknanya dengan pernyataan ‘ini hadits shahih’. Begitu pula halnya dengan pernyataan mereka: ‘Hadits ini hasan isnad’ berbeda maknanya dengan pernyataan ‘ini hadits hasan’. Pernyataan (hadits ini shahih isnad atau hadits ini hasan isnad) karena sanadnya memang shahih atau hasan tanpa memperhatikan matan, syudzudz maupun adanya illat. Apabila seorang ahli hadits mengatakan: ‘Hadits ini shahih’, itu berarti hadits tersebut telah memenuhi syarat-syarat hadits shahih yang lima. Lain lagi jika ia mengatakan: ‘Hadits ini shahih isnad’, itu berarti hadits tersebut memenuhi tiga syarat keshahihan saja, yaitu sanadnya bersambung, rawinya adil dan dlobith. Adapun tidak adanya syudzudz dan illat, berarti hadits tersebut tidak bisa
memenuhinya. Karena itu tidak bisa ditetapkan sebagai hadits shahih ataupun hasan. Meski demikian, apabila seorang hafidh mu’tamad (dalam hadits) meringkas penyataan dengan: ‘Hadits ini shahih isnad’, sementara ia tidak menyebutkan adanya illat, maka berarti matannya juga shahih. Sebab, pada dasarnya hadits tersebut tidak memiliki illat maupun syudzudz.

Arti Hadits Hasan Shahih
Kenyataan ungkapan seperti ini amat sangat sulit, sebab hadits hasan itu derajatnya lebih rendah dari hadits shahih. Maka, bagaimana menggabungkan keduanya sementara tingkatan keduanya berbeda?. Para ulama’ telah menjawab maksud dari pernyataan Tirmidzi dengan jawaban yang bermacam-macam. Yang terbaik adalah pernyataannya al-Hafidh Ibnu Hajar yang disetujui oleh as-Suyuthi, ringkasannya sebagai berikut :
a) Jika haditsnya mempunyai dua buah sanad atau lebih, maka berarti hadits tersebut adalah hasan menurut shahih satu sanad, dan shahih menurut sanad lainnya.
b) Jika haditsnya mempunyai satu sanad, maka berarti hadits tersebut adalah hasan menurut satu kelompok, dan shahih menurut kelompok lainnya.

Jadi, seakan-akan orang yang mengatakan hal itu menunjukkan adanya perbedaan dikalangan ulama’ mengenai status (hukum) hadits tersebut, atau tidak memperkuat status (hukum) hadits tersebut (apakah shahih ataukah hasan).

HUKUM HADITS HASAN

Posted by Anton Sanjaya 0 komentar
Hadits Hasan bisa dijadikan sebagai hujjah (argument), sebagaimana hadits shahih, meskipun dari segi kekuatannya berbeda. Seluruh fuqaha menjadikannya sebagai hujjah dan mengamalkannya, begitu pula sebagian besar pakar hadits dan ulama’ ushul, kecuali mereka yang memiliki sifat keras. Sebagian ulama’ yang lebih longgar mengelompokkannya dalam hadits shahih, meski mereka mengatakan tetap berbeda dengan hadits shahih yang telah dijelaskan sebelumya.

HADIST HASAN DAN PEMBAHASANNYA

Posted by Anton Sanjaya 0 komentar
PENGERTIAN HADITS HASAN
Menurut bahasa adalah merupakan sifat musyabbah dari kata al-husn, yang berarti al-jamal (bagus). Sementara menurut istilah, para ulama’ mendefinisikan hadits hasan sebagai berikut :


a) Al-Khathabi, hadits hasan adalah hadits yang diketahui tempat keluarnya kuat, para perawinya masyhur, menjadi tempat beredarnya hadits, diterima oleh banyak ulama, dan digunakan oleh sebagian besar fuqaha.
b) At-Tirmidzi, hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan, yang di dalam sanadnya tidak ada rawi yang berdusta, haditsnya tidak syadz, diriwayatkan pula melalui jalan lain.
c) Menurut Ibnu Hajar, hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, kedlobithannya lebih rendah dari hadits shahih, sanadnya bersambung, haditsnya tidak ilal dan syadz.

Menurut Mahmud Tahhan, definisi yang lebih tepat adalah definisi yang diungkapakan oleh Ibnu Hajar, yaitu yang sanadnya bersambung, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, namun tingkat kedlobithannya kuarang dari hadits shahih, tidak ada syudzudz dan illat.

SYARAT HADITS HASAN
Adapun syarat hadits hasan sama dengan syarat hadits shahih, yaitu ada lima namun tingkat kedlobitanya (kekuatan hafalan) berbeda.
a) Sanadnya bersambung,
b) Perawinya adil,
c) Dlobith, lebih rendah dari hadits shahih
d) Tidak ada illat,
e) Tidak ada syadz,

Hadits hasan terbagi menjadi dua jenis: hasan lidzatihi (hasan dengan sendirinya) dan hasan lighairihi (hasan dengan topangan hadits lain). Apabila hanya disebut “Hadits Hasan”, yang dimaksudkan adalah hadits hasan lidzatihi, dengan batasan seperti tersebut di atas. Dinamakan hasan lidzatihi, karena sifat kehasanannya muncul di luarnya. Dengan demikian, hasan lidzatihi ini dengan sendirinya telah mencapai tingkatan shahih dalam berbagai persyaratannya, meskipun nilanya sedikit di bawah hadits shahih berdasarkan ingatan para perawinya. Hadits hasan lighairihi adalah hadits dhoif yang memiliki sanad lebih dari satu. Sanad-sanad yang ada menguatkan sanad yang dhoif tersebut.

CONTOH HADITS HASAN
Dikeluarkan oleh Tirmidzi, yang berkata: “Telah bercerita kepada kami Qutaibah,
telah bercerita kepada kami Ja’far bin Sulaiman ad-Dluba’i, dari Abi Imran al-Juauni,
dari Abu Bakar bin Abi Musa al-Asyari, yang berkata: Aku mendengar bapakku
berkata –di hadapan musuh–: Rasulullah SAW. bersabda:



“Sesungguhnya pintu-pintu surga itu berada di bawah kilatan pedang…”.
Hadits ini hasan karena empat orang perawi sanadnya tergolong tsiqoh, kecuali
Ja’far bin Sulaiman ad-Dhuba’I yang masuk dalam kategori hasanul hadits, maka
turunlah tingkatan dari shohih menjadi hadits hasan.

HADITS SHOHIH LIGHOIRIHI

Posted by Anton Sanjaya 0 komentar
Pengertian
Hadist Shohih lighoirihi adalah Hadist Hasan Li Dzatihi yang mempunyai riwayat dari jalan lain yang setara dengannya atau bahkan lebih kuat darinya. Dinamakan shohih lighoirihi (karena yang lainnya), karena keshahihan disini tidak muncul dari sanadnya tersendiri, tetapi karena bergabungnya sanad atau riwayat lain yang menguatkan hadits tersebut.

Tingkatan Hadits Shohih Lighoirihi
Tingkatannya termasuk tingkatan hadits hasan yang paling tinggi, tetapi dibawah shohih lidzatihi. Dan termasuk kategori khobaru maqbul , yaitu kabar atau periwayatan hadits yang diterima.


Contoh Hadits Shohih Lighoirihi
Hadits yang diriwayatkan dari Muhammad bin Amr dari Abi Salamah dari Abi Hurairoh bahwa Nabi SW bersabda :


Tingkatan hadits di atas masuk pada kategori hasan lighorihi. Menurut Ibnu Sholah : karena Muhammad bin Amr bin al-Qomah sebenarnya dikenal sebagai perawi yang jujur dan amanah, namun ia tidak termasuk mereka yang kuat hafalan. Sehingga sebagian mendhaifkannya karena termasuk orang yang lemah dalam hafalannya, namun sebagian lain menganggapnya tsiqoh karena kejujuran dan kemuliannya. Sehingga asli hadits ini masuk kategori hasan li dzatihi.


Namun kemudian diketahui bahwa hadits ini dikuatkan dengan jalur lain, yaitu oleh al A'raj bin Humuz dan sa'id al Maqbari dan yang lainnya, maka ketakutan lemahnya hafalan Muhammad bin Amr dalam hadits ini menjadi hilang, dan terangkat tingkatannya menjadi shohih lighoirihi.


[Taysîr Mushthalah al-Hadîts karya Mahmûd ath-Thahân- terjemahan oleh Abu Al
Jauzaa]

ISTILAH TERTENTU DALAM HADITS SHOHIH

Posted by Anton Sanjaya 0 komentar
Makna Ungkapan Ulama Hadits “Hadits ini Shahîh” “Hadits ini tidak Shahîh”
Yang dimaksud dengan ucapan mereka “Hadits ini Shahîh” adalah bahwa lima syarat keshahihan di atas telah terealisasi padanya, tetapi dalam waktu yang sama, tidak berarti pemastian keshahihannya pula sebab bisa jadi seorang periwayat yang Tsiqah keliru atau lupa.

Yang dimaksud dengan ucapan mereka “Hadits ini tidak Shahîh” adalah bahwa semua syarat yang lima tersebut ataupun sebagiannya belum terealisasi padanya, namun dalam waktu yang sama bukan berarti ia berita bohong sebab bisa saja seorang periwayat yang banyak kekeliruan bertindak benar.

Makna Kata “Muttafaqun ‘Alaih”
Maksudnya adalah hadits tersebut disepakati oleh kedua Imam hadits, yaitu al- Bukhari dan Muslim, yakni kesepakatan mereka berdua atas keshahihannya, bukan kesepakatan umat Islam. Hanya saja, Ibn ash-Shalâh memasukkan juga ke dalam makna itu kesepakatan umat sebab umat memang sudah bersepakat untuk menerima hadits-hadits yang telah disepakati oleh keduanya. (‘Ulûm al-Hadîts:24)


Sementara itu, pendapat lain dari Ibnu Taimiyah al-Jad, khususnya dalam kitab haditsnya “ Muntaqo al-akhbaar min ahadiitsu sayyid al-akhyaar”, ia menyebutkan istilah “muttafaq” alaihi untuk hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, Muslim dan Ahmad. Sementara untuk yang hanya dikeluarkan oleh imam bukhori dan Muslim, beliau menyebutkan istilah “ akhrojaahu “ ( dikeluarkan oleh mereka berdua)

TINGKATAN HADIST SHOHIH

Posted by Anton Sanjaya 0 komentar
Pada bagian yang sebelumnya telah kita kemukakan bahwa sebagian para ulama telah menyebutkan mengenai sanad-sanad yang dinyatakan sebagai paling shahih menurut mereka. 


Maka, berdasarkan hal itu dan karena terpenuhinya persyaratan-persyaratan lainnya, maka dapat dikatakan bahwa hadits yang shahih itu memiliki beberapa tingkatan:

a) Tingkatan paling tingginya adalah bilamana diriwayatkan dengan sanad yang paling shahih, seperti Malik dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar.
b) Yang dibawah itu tingkatannya, yaitu bilamana diriwayatkan dari jalur Rijâl (rentetan para periwayat) yang kapasitasnya di bawah kapasitas Rijâl pada sanad pertama diatas seperti riwayat Hammâd bin Salamah dari Tsâbit dari Anas.
c) Yang dibawah itu lagi tingkatannya, yaitu bilamana diriwayatkan oleh periwayatperiwayat yang terbukti dinyatakan sebagai periwayat-periwayat yang paling rendah julukan Tsiqah kepada mereka (tingkatan Tsiqah paling rendah), seperti riwayat Suhail bin Abi Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah.


Tujuh Tingkatan Hadits Shohih
1) Hadits yang diriwayatkan secara sepakat oleh al-Bukhari dan Muslim (Ini tingkatan paling tinggi)
2) Hadits yang diriwayatkan secara tersendiri oleh al-Bukhari
3) Hadits yang dirwayatkan secara tersendiri oleh Muslim
4) Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan keduanya sedangkan keduanya tidak mengeluarkannya
5) Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan al-Bukhari sementara dia tidak mengeluarkannya
6) Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan Muslim sementara dia tidak mengeluarkannya
7) Hadits yang dinilai shahih oleh ulama selain keduanya seperti Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibbân yang bukan berdasarkan persyaratan kedua imam hadits tersebut (al-Bukhari dan Muslim).

TINGKATAN KESHAHIHAN SEBUAH HADITS

Posted by Anton Sanjaya 0 komentar
Jalur Periwayatan /Sanad yang Terbaik
Pendapat yang terpilih, bahwa tidak dapat dipastikan sanad tertentu dinyatakan secara mutlak sebagai sanad yang paling shahih sebab perbedaan tingkatan keshahihan itu didasarkan pada terpenuhinya syarat-syarat keshahihan, sementara sangat jarang terelasisasinya kualitas paling tinggi di dalam seluruh syarat-syarat keshahihan. Oleh karena itu, lebih baik menahan diri dari menyatakan bahwa sanad tertentu merupakan sanad yang paling shahih secara mutlak. Sekalipun demikian, sebagian ulama telah meriwayatkan pernyataan pada sanad-sanad yang dianggap paling shahih, padahal sebenarnya, masing-masing imam menguatkan pendapat yang menurutnya lebih kuat.

Diantara pernyataan-pernyataan itu menyatakan bahwa riwayat-riwayat yang paling
shahih adalah:
a) Riwayat az-Zuhriy dari Salim dari ayahnya (‘Abdulah bin ‘Umar ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Ishaq bin Rahawaih dan Imam Ahmad.
b) Riwayat Ibn Sirin dari ‘Ubaidah dari ‘Aliy (bin Abi Thalib) ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Ibn al-Madiniy dan al-Fallas.
c) Riwayat al-A’masy dari Ibrahim dari ‘Alqamah dari ‘Abdullah (bin Mas’ud) ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Yahya bin Ma’in.
d) Riwayat az-Zuhriy dari ‘Aliy dari al-Husain dari ayahnya dari ‘Aliy ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Abu Bakar bin Abi Syaibah.
e) Riwayat Malik dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Imam al Bukhariy.



KITAB YANG MENULISKAN HADITS SHOHIH

Posted by Anton Sanjaya 1 komentar
Kitab pertama yang hanya memuat hadits shahih saja adalah kitab Shahîh al- Bukhâriy, kemudian Shahîh Muslim. Keduanya adalah kitab yang paling shahih setelah al-Qur’an. Umat Islam telah bersepakat (ijma’) untuk menerima keduanya.


Antara Shohih Bukhori dan Muslim
Yang paling shahih diantara keduanya adalah Shahîh al-Bukhâriy, disamping ia paling banyak faidahnya. Hal ini dikarenakan hadits-hadist yang diriwayatkan al-Bukhariy paling tersambung sanadnya dan paling Tsiqah para periwayatnya. Juga, karena di dalamnya terdapat intisari-intisari fiqih dan untaian-utaian bijak yang tidak terdapat pada kitab Shahîh Muslim. Tinjauan ini bersifat kolektif, sebab terkadang di dalam sebagian hadits-hadits yang diriwayatkan Imam Muslim lebih kuat daripada sebagian hadits-hadits al-Bukhariy. Sekalipun demikian, ada juga para ulama yang menyatakan bahwa Shahîh Muslim lebih shahih, namun pendapat yang benar adalah pendapat pertama, yaitu Shahîh al-Bukhâriy lebih shahih. Imam al-Bukhariy dan Imam Muslim tidak mencantumkan semua hadits ke dalam kitab Shahîh mereka ataupun berkomitmen untuk itu. Hal ini tampak dari pengakuan mereka sendiri, seperti apa yang dikatakan Imam Muslim, “Tidak semua yang menurut saya shahih saya muat di sini, yang saya muat hanyalah yang disepakati atasnya.”


Ada ulama yang mengatakan bahwa hanya sedikit saja yang tidak dimuat mereka dari hadits-hadits shahih lainnya. Namun pendapat yang benar adalah bahwa banyak hadits-hadits shahih lainnya yang terlewati oleh mereka berdua. Imam al- Bukhariy sendiri mengakui hal itu ketika berkata, “Hadits-hadits shahih lainnya yang aku tinggalkan lebih banyak.” Dia juga mengatakan, “Aku hafal sebanyak seratus ribu hadits shahih dan dua ratus ribu hadits yang tidak shahih.”
Jumlah Hadits dalam Shohih Bukhori Muslim
• Di dalam Shahîh al-Bukhariy terdapat 7275 hadits termasuk yang diulang,
sedangkan jumlahnya tanpa diulang sebanyak 4000 hadits.
• Di dalam Shahîh Muslim terdapat 12.000 hadits termasuk yang diulang,
sedangkan jumlahnya tanpa diulang sebanyak lebih kurang 4000 hadits juga.

KITAB SHOHIH YANG LAINNYA
Kita bisa mendapatkannya di dalam kitab-kitab terpercaya yang masyhur seperti Shahîh Ibn Khuzaimah, Shahîh Ibn Hibbân, Mustadrak al-Hâkim, Empat Kitab Sunan, Sunan ad-Dâruquthniy, Sunan al-Baihaqiy, dan lain-lain. Hanya dengan keberadaan hadits pada kitab-kitab tersebut tidak cukup, tetapi harus ada pernyataan atas keshahihannya kecuali kitab-kitab yang memang mensyaratkan hanya mengeluarkan hadits yang shahih, seperti Shahîh Ibn Khuzaimah.


Al-Mustadrak karya al-Hâkim
Sebuah kitab hadits yang tebal memuat hadits-hadits yang shahih berdasarkan persyaratan yang ditentukan oleh asy-Syaikhân (al-Bukhari dan Muslim) atau persyaratan salah satu dari mereka berdua sementara keduanya belum mengeluarkan hadits-hadits tersebut.

Demikian juga, al-Hâkim memuat hadits-hadits yang dianggapnya shahih sekalipun tidak berdasarkan persyaratan salah seorang dari kedua Imam hadits tersebut dengan menyatakannya sebagai hadits yang sanadnya Shahîh. Terkadang dia juga memuat hadits yang tidak shahih namun hal itu diingatkan olehnya. Beliau dikenal sebagai kelompok ulama hadits yang Mutasâhil (yang menggampang-gampangkan) di dalam penilaian keshahihan hadits.
Oleh karena itu, perlu diadakan pemantauan (follow up) dan penilaian terhadap kualitas hadits-haditsnya tersebut sesuai dengan kondisinya. Imam adz-Dzahabi telah mengadakan follow up terhadapnya dan memberikan penilaian terhadap kebanyakan hadits-haditsnya tersebut sesuai dengan kondisinya. Namun, kitab ini masih perlu untuk dilakukan pemantauan dan perhatian penuh.

Shahîh Ibn Hibbân
Sistematika penulisan kitab ini tidak rapih (ngacak), ia tidak disusun per-bab ataupun per-musnad. Oleh karena itulah, beliau menamakan bukunya dengan “at-Taqâsîm Wa al-Anwâ’ ” (Klasifikasi-Klasifikasi Dan Beragam Jenis). Untuk mencari hadits di dalam kitabnya ini sangat sulit sekali. Sekalipun begitu, ada sebagian ulama Muta`akhkhirin (seperti al-Amir ‘Alâ` ad-Dîn, Abu al-Hasan ‘Ali bin Bilban, w.739 H dengan judul al-Ihsân Fî Taqrîb Ibn Hibbân) yang telah menyusunnya berdasarkan bab-bab. Ibn Hibbân dikenal sebagai ulama yang Mutasâhil juga di dalam menilai keshahihan hadits akan tetapi lebih ringan ketimbang al-Hâkim. (Tadrîb ar-Râwy:1/109)


Shahîh Ibn Khuzaimah
Kitab ini lebih tinggi kualitas keshahihannya dibanding Shahîh Ibn Hibbân karena penulisnya, Ibn Khuzaimah dikenal sebagai orang yang sangat berhati-hati sekali. Saking hati-hatinya, dia kerap abstain (tidak memberikan penilaian) terhadap suatu keshahihan hadits karena kurangnya pembicaraan seputar sanadnya.

Materi Banyak Di Baca